Tuesday, January 26, 2010

Tracy

“Tracy ngajakin makan malem bareng abis ini,” kata Yosafat di tengah pagelaran APPMI pada hari kedua Jakarta Fashion Week 09.
“Tracy siapa?” tanyaku.
“Tracy Trinita. Wanna join?”
“Of course!” jawabku sambil menahan excited yang sebenarnya kentara sekali.
Aku tanya di mana?
“Wendy’s”

***

Selesai fashion show, aku, Yosafat, dan Krista segera ke Wendy’s menemui Tracy yang sudah menunggu hampir sejam. Hatiku dag-dig-dug-der saat di lift. Ketika sudah dekat Wendy’s, aku bisa melihatnya duduk sendiri sambil memainkan Blackberry.

Kami menghampiri dan ia menyapa, “Hai...”. Ia cupika-cupiki dengan Yosafat dan Krista seperti teman lama berjumpa kembali. Kemudian ia melihatku dan mengulurkan tangannya.
“Hai, saya Tracy”. Oh, cantik, tentu saja saya tahu namamu.

Ia mengenakan sweater hitam dengan baju dalam merah. Ia jenjang sekali. Dahinya menonjol dan lebar, seperti dahi orang-orang pintar. Matanya membentuk garis lurus dihiasi alis yang menukik di bagian dalam. Tatapannya tajam sekaligus jernih. Rahangnya melengkung lembut, membingkai wajahnya yang cantik.

Beberapa orang bilang mukanya aneh. Aku bilang mukanya unik. Wajahnya seperti tanah liat yang dibentuk sempurna tidak bersudut, tidak bersiku. Oh, Tuhan, mood Kamu pasti sedang bagus waktu menciptakan Tracy.

“Did you guys go to the same school?” ia bertanya sambil melihatku.
“Oh, eerr... No,” jawabku kaku dan malu-malu.
“Where do you study?”
Aku jelaskan sedikit bahwa aku kuliah di Lenteng Agung mengambil jurusan jurnalistik. Sial! Aku pasti terlihat bodoh, karena bicara terbata-bata.

Yosafat cerita ternyata capek juga nonton fashion show dari sore. Kita yang nonton saja capek, gimana modelnya. Ia tanya ke Tracy bagaimana kalau di luar negeri.

Ia menjelaskan kalau di luar negeri ada beberapa tempat dan itu bisa terpisah jauh. Ia cerita pengalamannya dulu waktu fashion week ia harus pindah-pindah tempat dengan mobil antarjemput.

Aku suka caranya bicara. Kalimatnya pendek-pendek. Bicaranya cepat ditambah gerakan tangan. Saat ia bicara kepalanya ikut bergoyang, ada kesan kekanak-kanakan yang lucu. Aku bisa menebak bahwa ia sanguinis sejati.

“Tracy sekarang kesibukannya apa?” aku beranikan diri bertanya. Saat ini ia mengurus clothing store-nya di Bali. “But my full-time job is involve in two places. Pertama, di gereja. Kedua, di yayasan”. Ternyata ia belajar di jurusan teologi. “I studied in England for three years. I just graduated on June. Sekarang aku ngajar di Gereja dan yayasan”. Seutas senyum selalu tersungging di wajahnya. Aku suka sekali melihatnya tersenyum (Ya Tuhan! Semoga aku tidak melongo saat ia bicara).

Suasana sangat cair saat kami ngobrol. Aku tidak lagi tegang karena sikapnya yang rendah hati. Aku tidak perlu jaim saat berhadapan dengannya. Ya, dia cantik, tapi ia juga pintar. Ia sangat menikmati kegiatan kerohaniannya. Ia juga terlihat antusias saat aku cerita cita-citaku untuk jadi penulis dan punya kolom sendiri di Kompas.

Karyawan Wendy’s mulai mengepel lantai dan menurunkan tralis. Junk food kami sudah habis disantap, meninggalkan bungkus kertas dan sisa-sisa sambal. Kami keluar dan keliling arena fashion show yang telah kosong. Tracy meyakinkan kami bahwa ia akan datang menyaksikan pagelaran Yosafat dan Krista.

Jam tanganku menunjukkan pukul sebelas lewat. Kami harus berpisah. Aku terkesan pada Tracy. Bukan hanya pada wajah cantiknya, tapi pada kerendahan hatinya. Aku nyeseeeelll bukan main tidak berani minta foto bareng. Di rumah, aku terkenang pertemuan itu, lalu aku abadikan ke dalam tulisan.